Oleh : Ignatius Ery Kurniawan
Produktivitas minyak nabati seharusnya jadi tolok ukur utama
bagi perkebunan yang sustainable di dunia. Sebab, melalui produktivitas tinggi,
maka penggunaan lahan akan sangat efisien, sehingga mampu memenuhi kebutuhan
konsumsi global secara berkelanjutan.
Sustainability (keberlanjutan)
kini menjadi kata kunci yang sering dibicarakan. Tak hanya dalam konferensi dan
media saja, melainkan sudah merambah ke kantong-kantong produsen kelapa sawit
termasuk petani, yang sibuk menanam pohon kelapa sawit demi menyambung
hidupnya.
Sulitnya melakukan praktik budidaya terbaik yang sustainable, banyak dirasakan pelaku
usaha dan petani hampir di seluruh dunia. Pasalnya, keberadaan standar sustainability yang diracik sebagai
prinsip dan kriteria (P&K), melulu mengatur keharusan dan kewajiban yang
harus dilakukan.
Sejatinya, standar sustainability
seperti P&K Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO), menjadi kebutuhan pengusaha dan petani dalam membangun
masa depan perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, melalui pembangunan perkebunan
kelapa sawit yang sustainable, maka
keuntungan besar akan mudah tercapai.
Sebagai minyak nabati global yang memiliki produktivitas
paling tinggi, minyak sawit menjadi andalan dunia sebagai minyak nabati paling
efektif dan efisien. Potensi besar tersebut, menjadi peluang bagi dunia, untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi akan minyak makanan dan non makanan global.
Lantas, kenapa minyak sawit masih sering dipersoalkan?
Sejatinya, produktivitas tinggi yang dimiliki minyak
sawit, merupakan kekuatan besar bagi dunia termasuk Indonesia, untuk terus
mengembangkan industri minyak sawit dari hulu hingga hilir. Pasalnya, kebutuhan
lahan yang digunakan hanya sedikit saja, untuk menghasilkan minyak nabati yang
sehat dan aman guna mencukupi kebutuhan konsumsi global yang terus meningkat.
Merujuk data oilworld
tahun 2011, lahan perkebunan kelapa sawit dunia yang digunakan hanya 10,9 juta hektar
(ha), untuk menghasilkan minyak sawit mentah (CPO) sebesar 55,9 juta ton. Sedangkan
produksi minyak kacang kedelai (soybean oil) sebesar 41,4 juta ton, membutuhkan
lahan yang sangat luas, hingga 104,2 juta ha.
Produktivitas Jadi Keberhasilan Berkelanjutan
Besarnya luasan kebun soybean hingga 10 kali lipat
bila dibandingkan kebun sawit, menggambarkan rendahnya produktivitas yang
rata-rata hanya sebesar 0,4 ton/ha/tahun. Dibandingkan produktivitas minyak
sawit yang rata-rata mencapai 5,3 ton/ha/tahun, maka CPO layak disebut sebagai
minyak nabati paling efisien di dunia.
Seandainya kebun soybean dijadikan lapangan bola, maka
dunia akan memiliki lapangan bola sebanyak .... diseluruh dunia. Pastinya,
anak-anak di seluruh dunia akan senang bermain bola, sehingga badan menjadi sehat,
karena minyak makanan dan non makanan mereka, tercukupi dari minyak sawit yang
sehat dan kaya akan vitamin A dan E.
Ancaman terbesar kerusakan planet bumi, sejatinya
bukan berasal dari minyak sawit yang bila dikelola secara budidaya terbaik dan
berkelanjutan, mampu menghasilkan produktivitas hingga 7 ton/ha/tahun. Tetapi,
berasal dari rakusnya penggunaan lahan dari minyak nabati yang rendah
produktivitasnya, seperti soybean oil.
Jika deforestasi ingin dihentikan, pemanasan global
berhenti, dan kelestarian alam terjaga secara alami, maka bercocok tanam pohon
kelapa sawit harus jadi pilihan utama. Sebab, pohon kelapa sawit berasal dari
tanaman hutan di negara Afrika, sehingga secara alami mampu adaptif terhadap
hewan dan lingkungan sekitar serta menghasilkan oksigen (O2) setiap
harinya secara gratis bagi manusia dan planet bumi.
Stop Global
Warming? Mari kita menanam pohon kelapa sawit.